Tau tepo seliro? ya semacam toleransi gitu lah. Lantas apa hubungannya dengan jalan? Jadi gini, sekarang ini kalau lagi berkendaraan (terutama motoran di jalanan jogja) sudah sangat berbeda dengan kira-kira 5 atau 10 tahun yang lalu. Dulu itu, kalau dibilang sepi ya enggak namanya jalan kok sepi, suasana santai dan jumlah kendaraan tidak sebanyak sekarang. Pokoke suasananya masih enak lah. Gak grusa grusu.

Nah kalau sekarang, jumlah kendaraan super banyak dan rata-rata tidak mau saling mengalah. Pokoke “aku kudu ndisik, kowe karepmu” begitu kira-kira. Kalau diterjemahkan ke bahasa indonesia kira-kira “pokoknya aku harus lebih dulu, kamu terserah”. Lihat saja kalau di lampu merah, gak motor gak mobile pengennya di depan, mendekati garis depan meski harus berada di lajur paling kiri yang di beberapa lampu merah sebenarnya untuk yang kiri jalan terus. Terus kalau sudah hijau sudah kayak start balapan pengennya langsung tancap gas.

Sering kok kejadian, lampu hijau yang mungkin 20 atau 30 meter di belakang garis langsung mencet-mencet klakson. La memang kalau nglakson-nglakson gitu terus yang di depan jadi lebih cepat maju? atau gimana maksudnya saya juga gak tahu, Terkadang juga dari hijau sudah merah tetap saja jalan terus yang pada akhirnya bisa mengganggu jalur yang lain yang saat itu sedang hijau.

Toleransi itu bukan hanya di ranah agama, di jalanan pun tentu akan lebih bagus jika diterapkan juga, setidaknya coba untuk tidak saling serobot dan menunggu giliran jika ada antrian. Kecuali kalau macet ya. itu kasus nya berbeda. Atau jika ada genangan air karena habis hujan, ya hati-hati siapa tau di deket nya ada orang yang kalau kita ngawur air nya bisa kemana-mana 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.